Sabtu, 28 Juni 2008

Syukur yang terlupakan...


Ketika kita memaknai hidup adalah sesuatu yang dinamis, maka kita berada dalam kondisi yang
siap bersaing. Orang yang dinamis
pula
lah yang siap menang. Kedinamisan itu dapat diwujudkan dalam bentuk memperoleh rizki, bisa pula dalam mengejar kehidupan akhirat.

Lalu, ketika kita sudah sebagai winner apakah kita layak berbangga diri, merasa kita yang berjuang ? sangat tidak....
Sebagai insan yang beriman, kita tidak layak berbangga diri karena mendapatkan kesuksesan, kebesaran atau mendapat jabatan. Ada Dzat yang Maha Menentukan kita, Allah Subhanahu wata'ala.

Wujud kerendahan hati kita adalah bersyukur, syukur yang tidak terbatas dalam ibadah ritual, tetapi lebih jauh dalam konteks kehidupan sosial.

Upaya Hati ...


Pada saat tertentu, kita akan berhadapan dengan kenyataan yang tidak kita kehendaki. Kondisi itu akan menampakkan hakikat jatidiri manusia yang mengalaminya. Sikap menerima dan dapat mengendalikan hati pada waktu itu akan membawa kita ke arah kedamaian, ketenangan dan kebesaran hati, yang pada akhirnya kita akan jadi pemenang. Sebaliknya, bila kita terpedaya menolak, tidak menerima keadaan dan cenderung berontak, maka kehinaan dan kehancuran kan menerpa kita dan akhirnya akan sengsara.

Hati ini senantiasa berubah, lembut bagai sutera suatu waktu dan keras laksana baja di waktu yang lain. Wajarlah kemuadian hati dinamai qolb (sesuatu yang tidak menentu ).

Hati harus senantisa terasah, dilatih dan diberi asupan gizi yang dapat menambah daya kekuatan dan selalu halus. Gizi itu adalah zikir, qiroatul quran dan siraman rohani lainnya.